Rencana awal, kami akan naik Merapi melalui jalur Kinahrejo yang merupakan jalur paling dekat menurut penuturan beberapa blog dan salah seorang penjaga persewaan alat - alat outdoor. Aku juga telah memastikan kepada penjaga persewaan bahwa jalur tersebut masih dibuka setelah erupsi merapi 2010 kemarin. Setelah sampai di Kinahrejo, orang - orang di sana terheran - heran melihat kami membawa tas - tas besar. Kami bertanya kepada seorang ibu penjaga warung tentang basecamp terakhir untuk pendakian ke puncak. Benar saja, ibu itu memastikan bahwa jalur ini telah ditutup semenjak erupsi kemarin. Jalur tertutup pasir erupsi. Pendaki bisa mendaki tapi hanya sampai gardu pandang di atas.
Berangkat dari Jogja sore hari, aku bersama lima orang temanku memacu sepeda motor dengan kecepatan sekencang mungkin untuk mengejar waktu. Kita harus sampai Kinahrejo sebelum gelap. Sebelumnya kami menunggu terlalu lama teman - teman untuk berkumpul, bahkan ada seorang teman yang menggagalkan tiba - tiba. Sampai di Kinahrejo kami menemui hal yang tak di inginkan. Kami sempat ingin menggagalkan pendakian dan menggantinya dengan kemping di suatu tempat. Setelah beberapa waktu berunding, kami memutuskan untuk tetap mendaki melalui jalur Selo. Mengelilingi gunung Merapi di malam hari dari selatan ke utara.
Pukul 7 petang kami berangkat dari Kinahrejo menuju Selo melewati beberapa tempat sepi yang kata warga setempat merupakan tempat yang rawan kejahatan. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh saat kami tiba di Selo. Wedang jahe di angkringan dekat basecamp sedikit menghangatkan badan kami setelah malam - malam menerjang angin gunung yang menusuk sampai tulang, minimal tulang jari tangan.
![]() |
New Selo, Base Camp Awal
|
Gardu pandang New Selo tempat mengawali pendakian begitu gelap dan sunyi. Kami tidak menemukan basecamp tempat laporan pendakian sehingga kami tidak melapor dan hanya menaruh sepeda motor di lapangan tanpa dititipkan. Padahal sebenarnya basecamp berada di bawah Gardu Pandang hanya saja telah tutup karena malam.
Setelah persiapan sejenak, kami langsung mengawali pendakian. Jalur begitu berdebu dan licin. Kami kira itu abu bekas erupsi kemarin, karena gelap debu itu tak terlihat jelas. Tapi saat pulang, kami tahu debu itu hanyalah tanah yang mengering karena musim kemarau. Kami sempat tersesat karena memilih jalur warga lokal untuk mencari rumput.
Malam itu langit cerah dengan taburan bintang dan bulan fase awal yang kuning karena baru terbit di ufuk timur. Keadaan Merapi yang minim pepohonan besar membuat kami dapat melihat dengan jelas pemandangan di atas.
Pukul 3 pagi kami memutuskan untuk istirahat dan mendirikan tenda untuk tidur sebentar. Kami tak tahu sudah sampai pos berapa. Di tempat itu kami menemukan batu memorial seorang pendaki yang tewas di merapi. Kami hanya membawa tenda kapasitas empat sedangkan kami berenam. Karena tidak terlalu dingin dan bintang terlihat indah aku memutuskan untuk tidur di luar bersama seorang temanku.
| Sunrise Merapi |
Sinar jingga matahari membelah langit pagi secara horizontal dari utara ke selatan di ufuk timur. Pemandangan indah itu membangunkanku dari tidur yang tak lelap. Kakiku kedinginan setelah dua jam tak bergerak di udara yang dingin. Tapi semangat pagi mendorongku untuk bangun dan menarikku untuk melihat keindahannya :D.
![]() |
| Sebelum Pasar Bubrah |
Makan telah dimasak dan disantap, tenda selesai digulung, kami meneruskan perjalanan mengejar waktu menuju puncak. Tak lama kami berjalan kami sampai di dataran berbatu dan berpasir yang biasa disebut sebagai pasar bubrah. Di sana, gundukan puncak Merapi berdiri dengan gagah menunggu untuk ditaklukkan. Tapi sayang, tak tau karena apa tiga orang teman memutuskan menyerah sebelum mencoba , dan seorang teman yang putus asa karena telah mencoba jalur puncak yang curam, licin berpasir.
| Puncak Merapi |
Aku mendorong seorang temanku dengan rayuan2 gombal supaya tetap melanjutkan perjalanan. Pelajaran berharga kami peroleh dari pendakian puncak ini. Kami teledor lupa tidak membawa air setegukpun. Dari laporan pendaki yang telah mencoba, naik turun hanya dua jam. Pukul delapan lebih kami sampai pada awal jalur curam. Kami merangkak ke atas sampai badan merebah ke pasir. Tak jarang kami selingi dengan istirahat. Tak tau mungkin jalur ini jarang sekali di lewati. Saat kami menginjakkan kaki ke pasir, pancatan merosot hampir setengah langkah angkatan. Kami baru menyadari membutuhkan air saat sampai tengah perjalanan. Puncak terlihat telah dekat, padahal sebenarnya masih jauh, aku tetap mendorong temanku yang telah kelelahan untuk melanjutkan perjalanan.
| Jalur menuju puncak |
Pukul sebelas, di bawah matahari yang besinar cerah dan panasnya dipantulkan kembali oleh pasir putih keabuan, kami sampai di puncak dengan usaha yang begitu keras tanpa air. Temanku cukup menikmati pengandangan dari puncak pertama dan tak mau meneruskan perjalanan naik ke atas puncak sejati. Tanpa teman aku memberanikan diri manjat ke atas puncak walau risikonya besar, nekad - nekadan.
Setelah puas melihat pemandangan di atas puncak kami turun lewat jalur lain. Awalnya jalur itu terlihat sering di lewati dan dapat kami lewati dengan jalan tegak. Namun, jalur pijakan keras berakhir dengan jalur cekungan seperti bekas aliran lava yang terdiri dari pasir halus yang menurun. Kami nekad melewati jalur itu dengan langkah yang terselip selip ke bawah. Kami berlalari ke bawah hampir seperti sandboarding, cepat, panas, berdebu. Bersama longsoran pasir kami berlari dan terjatuh. Kadang longsorang yang terlalu besar merobohkan dinding cekungan yang runtuhannya cukup untuk mengubur kami hidup - hidup. Tapi untung saja lebar bibir sungai menyelamatkan kami (tentu Tuhan di baliknya). Stelah sekian lama kami perosotan di pasir tak kunjung berakhir bekas aliran lava itu. Akhirnya kami memutuskan untuk naik ke atas melewati bibir sungai yang rawan runtuh, tapi di situ terdapat jejak seperti pernah dilewati.
| Hampir mati karena dehidrasi dan tersesat saat turun |
Di atas kami menemui dataran batu berpasir yang diapit bukit besar yang tidak kami lihat dari jalur sebelumnya. Kami tahu kami menyimpang terlalu jauh. Kami berangkat naik dari sisi sebelah utara dan mungkin kini kami hampir di sisi timur gundukan puncak merapi. Temanku sudah tidak kuat meneruskan perjalanan. Ia merebahkan badannya setelah mencoba beberapa langkah melewati dataran batu berpasir tersebut. Kami dehidrasi, matahari semakin panas dan air tubuh kami semakin berkurang. Aku masih kuat meneruskan perjalanan. Aku tinggalkan temanku untuk mencari temanku yang lain dengan berjalan mendatar naik turun kearah barat laut. Setelah beberapa lama berjalan, samar - samar aku mendengar temanku yang lain berteriak memanggil nama ku dan temanku. Kami bertemu setelah beberapa saat mencari dengan suara kami. Dengan cepat kami berlari menghampiri temanku yang "sudah hampir mati" dan memberinya minum. Lagi - lagi aku diselamatkan.


0 comments:
Post a Comment