2.6.13

Near Death Experience dan Kesiapan Mati bagi Nature Experimentalist


Satu hal yang tak mudah hilang dari ingatan manusia dan kadang akan mempengaruhi kehidupannya dalam mengambil keputusan atau bahkan dalam hal – hal kecil sekalipun yaitu sensasi mendekati maut (near death experience) yang pernah dialaminya. Seperti yang pernah aku rasakan ketika terseret ombak terapung – apung di lautan selatan pulau jawa. Saat – saat yang akan selalu ku ingat. Tidak akan aku jadikan beban pikiran yang menjelma menjadi ketakutan sehingga menghentikan persenggamaanku dengan alam selanjutnya. Namun, lebih untuk mengingatkan siapa kita dan bagaimanakah kita harus menempatkan diri kita di alam yang serba luas ini.


Di pantai itu, 


Minggu pagi 26 Mei 2013, memenuhi rencana temanku beberapa hari sebelumnya, aku ikut teman – temanku ke sebuah air terjun yang cukup terkenal bagi orang – orang Jogja. Rencananya tidak ada destinasi lain untuk dikunjungi selain air terjun itu. Namun seperti biasanya, tidak diperlukan rencana dalam setiap perjalanan karena ujung – ujungnya hanya akan dilanggar. Kunjungan ditambah ke pantai terdekat yang bisa untuk berenang sebab  renang di air terjun itu tak memungkinkan.

Di pantai, hal yang menjadi perhatian utamaku adalah sebuah muara sungai karst dekat pantai yang dapat digunakan untuk berenang. Namun, hujan semalam selain mengeruhkan sungai besar di air terjun juga mengeruhkan muara sungai di pantai. Akhirnya, aku menuju pantai mengikuti ratusan orang bermain gelombang di bibir pantai. Tak mempedulikan teman – teman lain, aku bersama seorang teman menikmati gulungan ombak sore yang membanting – bantingkan badan dan sempat membuat segores luka di badanku akibat kerasnya bantingan. Tak apa, sakitnya masih kalah dengan nikmatnya bantingan. Tak ada orang yang bermain lebih menjorok ke lautan, semua sejajar di garis pantai yang sama. Hanya saja aku dan seorang temanku mendapat bagian bibir pantai dekat muara sungai.
Tak tahu karena apa, tiba – tiba terlihat temanku melambai – lambaikan tangannya ke arah daratan dengan senyum seolah menutupi kegelisahannya terseret oleh ombak yang kembali kelaut. Padahal sebelumnya aku berdiri berjejer bersamanya. Tak ada kehendak lain selain mencoba menghampirinya dan menariknya ke darat. Saat aku berhasil berpegangan dengannya, tak ada ombak dari laut yang menuju ke darat, hanya aliran air kembali menuju laut diperparah dengan aliran muara sungai. Dari situ aku sudah menyadari bahwa aku akan tertarik ke tengah dan semakin ke tengah lautan. Kaki dan tanganku tetap berusaha berenang menuju arah darat sambil sesekali memegang badan temanku. Semakin ketengah semakin keras aku berusaha menggerakkan kakiku. Tak seperti temanku yang terus berteriak minta tolong, aku hanya menggerakkan kakiku dan terus berpikir karena perkiraanku aku akan mati. Mataku melihat buram ke pinggir pantai berisi orang yang sepertinya melihat bingung ke arah kami.

Ya, aku merasakan maut mendekatiku. Seperti terserap lubang hitam yang akan membawaku menuju dunia lain yang sama sekali belum aku kenal. Aku tidak memikirkan apakah di sana ada gunung bertaman yang  mengalir sungai di sekelilingnya ataukah lembah berapi hitam berisi teriakan, hanya dunia yang masih ada dan jelas, tetapi sama sekali berbeda. Masih ada kehidupan setelah ini, yakinku. Sesekali saja ketakutanku akan hal lama itu berada dipikiran. Biasa, hal lama tak akan dengan mudah menghilang begitu saja. Ditambah keterbatasan pengetahuan kita yang membuat ketakutan dan berbagai asumsi apalagi yang dominan menjadi nyata. Aku tidak mengkhawatirkan diriku, hanya memikirkan kesiapan orang tua dan saudaraku menerima kabar yang begitu tak biasa bagi mereka. Seharusnya, jauh hari sebelumnya aku sudah meyakinkan mereka mengenai bahaya aktivitas yang biasa aku jalani ini sehingga mereka lebih siap walaupun sebenarnya mereka juga tahu bahayanya, tetapi tetap saja perlu diyakinkan.

Otot – ototku semakin lelah dan sulit untuk digerakkan. Saat itu, beberapa kali air laut bergatian dengan nafas masuk ke dalam tubuh. Aku semakin jauh dari orang – orang di pinggir. Kami sudah tidak berpegangan lagi. Tiba – tiba terdengar, temanku berbicara dengan seseorang. “Cepat mas, mas cepaaat, maaas” jeritnya sambil terengah – engah. Seseorang mendekat membawa sebuah ban dalam besar. Perasaan berubah seperti berada di ujung lubang putih dan akan menyembul ke luar. Harapan baru timbul. Temanku yang berada di sebelah kiriku mendapatkan ban yang datang dari kiri, lebih dulu dari pada aku. Sulit sekali untuk bergerak ke arah ban. Dengan sisa usaha aku berhasil menyangkutkan tangan kananku masuk ke dalam lubang ban sedangkan temanku sudah terlebih dahulu  memasukkan badannya ke dalam ban. Dengan lemas kami menggerak – gerakkan kaki ke arah pinggir. Temanku berteriak memanggil penolong yang semakin menjauh dari kami seperti meminta pertolongan. Ternyata ia kembali dengan sebuah ban tambahan. Aku beralih ke ban itu dan memasukkan tubuhku ke dalamnya. Sambil mengepak – epakkan kaki dibantu dengan tarikan penolong itu aku menuju ke daratan yang jaraknya seratusan meter dari tempat asal kami dan jauh dari tempat awal kami sebelum terseret ke lautan. Temanku sampai di darat lebih dulu dengan badan merebah ke arah langit. Di darat aku sudah tak sanggup berdiri karena tekanan di kepalaku begitu besar, pusing dan mual. Orang – orang SAR yang tadi menolong kami menyuruh untuk cepat – cepat  ke pantai seberang karena jalan akan segera tertutup air pasang. Lagi – lagi temanku lebih dulu sampai keseberang, ia terlihat lebih sehat. Dengan langkah yang terseret – seret aku menyeberangi ombak di pinggir tebing bersama seorang SAR. Di seberang, setelah berjalan menyeberangi muara sungai dengan dibantu temanku yang menyebarang duluan, aku merebahkan badan kemudian dibawa tandu menuju pos SAR. Sambil ditandu aku tak dapat menghentikan senyumku sebagai bentuk kesyukuranku atas kesempatan kehidupan baru ini.

Peristiwa semacam itu bukan pertama kali aku alami saat bermain – main dengan agungnya kekuatan alam. Aku pernah teresat dan dehidrasi di puncak Merapi, membuat jalan sendiri di Sumbing, dll. Semua itu  belum memberikan rasa jera karena memang bukan seharusnya menganggap itu sebagai sebuah ketakutan. Konyol ? Tidak demikian bagiku. Bahkan itu bisa menjadi sensasi tersendiri yang akan terus terkenang. Bukan cuma bermain dengan kekuatan alam, kita juga akan bermain – main dengan perasaan campur tangan Sang Kuasa atas kemungkinan – kemungkunan kecil yang akhirnya muncul menjadi kenyataan. Dengan pengalaman dan pengetahuan kecelakaan dapat diminimalisasi. Aku dan temanku sudah dapat berenang sehingga dapat memperkecil risiko tenggelam. Teruslah mencari dan mencoba !

8 comments:

Indah Nurhidayati said...

Hahahahaha gokil, tulisannya keren Sim. Lbh hati2 aja kalo "main-main" sama alam :D

lisayihaa.blogspot.com said...

ada yg paling berharga sejak hari itu, yaitu "pengalaman", dan ada yg paling berbekas sejak hari itu yaitu "ketakutan",...kebayang nggk paniknya temen2 kmrn kayak gmn?!,...

lisayihaa.blogspot.com said...

coba pahami dari sudut pandang kita,...http://semua-tentang-sastra.blogspot.com/

Indah Nurhidayati said...

Lisa tulisanmu "dalam" bgt. Iya tu Qosim hrs baca, itu perwakilan perasaan kami pas kalian terombang-ambing di lautan lepas hahaha. Yg sempat terlintas dibenakku pas waktu itu, "Kalo mereka ga tertolong apa yg hrs kami sampaikan ke orang tua mereka? :(". But Alhamdulillah Allah ngasih jawaban lain :D

qoscious said...

Sip Lis, Lupa aku : makasih buat kalian yang dengan sabar menunggui jasad yang lemah ini. hahahaha ...

lisayihaa.blogspot.com said...

hush,...bukan jasad,...raga,...org msh berjiwa, haha sama2 mas bro,...
Iya, makasih Indah, itu perasaan kita semua

Irman said...

Senang punya teman sepertimu, Qosim. Aku jauh di belakangmu.

qoscious said...

Apa maksudmu ki sanak

Post a Comment

menu