23.11.14

Lapisan Makna

Diperlukan manusia tangguh untuk menghadapi kerasnya alam kehidupan. Bukan urusan kita mengetahui tujuan keberadaan. Ia bergerak menggebu kadang tenang dengan bahasanya sendiri, bahasa yang entah maknanya berharga atau tidak bagi kita. Yang berharga, yang bermakna tentunya berbeda bagi setiap jenis tingkat kehidupan. Berbeda lingkungan, berbeda keadaan, berbeda aturan main, berbeda rasa, berbeda kuasa, maka berbeda makna. Itu bukan urusan kita.
Menjadi manusia tangguh adalah urusan kita, tujuan yang kita buat sendiri. Tentunya mungkin ada tujuan yang lebih besar lagi, tapi tujuan besar itu tak disampaikan kepada kita, kepada satu-satunya kita, bukan melalui politik atau kekuasaan imperium, kredo-kredo, mitos, doktrin juga dogma, maka kita buat tujuan itu sendiri.
Seperti ketika seseorang terbangun di sebuah kereta yang beberapa gerbongnya pengap, kotor, penuh bau, beberapa lainnya penuh keindahan serta kenikmatan, padahal dia tak menginginkan keberadaan dirinya di dalam kereta itu. Entah karena apa tiba-tiba dia terbangun saja di kereta itu. Kereta yang mengangkut banyak barang, banyak orang. Tak ada yang tahu kereta itu akan membawa mereka kemana. Tak ada cara untuk keluar darinya.
Hari-hari berlalu, orang itu menghabiskan waktunya bertanya kepada setiap penumpang kereta. Penumpang kereta terbagi kepercayaannya dengan beberapa spekulasi yang dibuat oleh pemimpin kelompoknya. Namun sebenarnya, kepercayaan itu tak terlalu mereka hiraukan. Mereka malah lebih disibukkan berebut gerbong nyaman yang penuh kenikmatan.

Orang itu tak puas dengan spekulasi beberapa kelompok penumpang kereta. Sepertinya kereta itu dibuat sedemikian canggihnya, tak sesederhana pemikiran kelompok-kelompok itu yang sebenarnya idenya hampir sama. Seperti satu kelompok memodifikasi ajaran kelompok lain hingga muncul banyak kelompok yang idenya bercabang seperti pohon.
Akhirnya, setelah lama mencari tahu tujuan kereta itu akan membawanya kemana, ia memilih untuk menghentikan pencariannya. Sedikit pengalamannya berada di kereta dipakainya untuk bertahan di sana. Ia nyaman saat bisa menolong orang-orang yang menderita. Ia banyak tahu hal-hal yang berkaitan dengan keadaan di dalam kereta karena penjelajahannya di tiap gerbong memberikan pengalaman lebih daripada orang lain yang hanya diam di suatu gerbong. Orang berkuasa lebih memilih kereta yang nyaman sedang orang lemah harus bisa menerima gerbong busuk penuh bau.
Ia dekat dengan orang-orang berkuasa yang sudah bisa membuat berbagai macam kenikmatan lain, karena kebutuhan dasarnya telah terpenuhi, kemudian mengajarkannya kepada orang-orang lemah membuat hal-hal baru seperti halnya orang berkuasa. Ia menikmati kegiatannya. Ia tak menghiraukan lagi kemana kereta itu akan membawanya atau untuk apa ia tiba-tiba dimasukkan ke dalam kereta itu. Ia juga tak menghiraukan kepercayaan penumpang lain yang terbagi dalam kelompok-kelompok dengan spekulasi dari peimpinnya, karena pengalamannya mengatakan kecanggihan kereta itu akan cacat jika dijelaskan dengan keremehan dogma-dogma para pemimpin yang terlalu manusiawi.
Ia percaya kereta akan membawa kepada tujuan yang baik karena pengalamannya di dalam kereta membawanya pada berbagai macam warna keindahan, perpaduan indah antara kebaikan dan keburukan, permainan-permainan, kepalsuan kejujuran, rasa dosa dengan solusi pengampunan, dan kecanggihan-kecanggihan lain.
Jika kereta dibuat oleh pembuatnya diperuntukkan bagi penumpang yang hendak berpindah tempat, maka kitalah keretanya, bukan penumpang sebagai tujuan dibuatnya kereta oleh pembuat kereta, kita alatnya bukan pemakainya. Kita lah pesan yang dikirim oleh komunikator kepada komunikan. Untuk kemudian siapa komunikator dan siapa komunikannya, apakah ia satu, jangan ditanya.


0 comments:

Post a Comment

menu