6.3.14

Bukankah Begitu?

Bagaimana jika memang begini, tidak ada benar dan salah, karena bukankah benar dan salah paling yang menentukan juga manusia, itu hanyalah penyimpulan manusia akan hal yang dialaminya. Tuhan, neraka, surga, nirvana ? Siapa dia ? Manusia kan, seperti kita. Apakah dengan banyak penganut membuat dia semakin benar mengalahkan yang lainnya ? Mengaku telah berkomunikasi dengan tuhan dan mendefinisikan benar dan salah menurut dia sendiri berharap bisa membantu orang lain. Bagaimana dengan yang tidak mempercayainya, bahkan dengan perdebatan sengit sekalipun. Dia paling lantas mengatakan mereka salah, atau terserah mereka, bahkan membunuh mereka. Yaa, terserah juga mau mengikutinya atau tidak. Bukankah begitu ?

Seperti yang kita tahu dan alami sendiri, kita, bukan hanya dia -nabi, wali, saint, rsi- alam tetap bergerak, apakah kita berharap, berbuat kesalahan / dosa, hanya diam sampai mati, alam tetap bergerak. Matahari terbit dan terbenam, angin tetap berhembus, petir menyambar saat ada awan yang bertumbukan, kerak bumi tetap bergerak, magma tetap mengalami pergolakan, terpanaskan atau terdinginkan. Setidaknya menurut pengamatan kita untuk saat ini atau saat itu. Bukankah begitu ?

Hanya saja mengapa, saat mereka bergerak sedikit lebih kencang, bertumbukan lebih keras, memanas lebih panas dan mengenai kita, kemudian kita sebut sebagai bencana yang mempunyai arti khusus. Bahkan merupakan akibat dari perbuatan kita yang bahkan kita sendiri adalah akibat dari kealamiahan pergerakan alam. Dan bahkan sebenarnya “alami” itu juga sebutan dari kita untuk mengungkapkan sesuatu yang -menurut kita- seiring dengan alam. Bukankah begitu ?

Kapanpun alam bisa menghancurkan dirinya sendiri. Menabrakkan batuan angkasa dengan bumi, banjir besar, badai yang bisa memusnahkan seluruh manusia. Itupun kata mereka. Mungkinkan ? Setidaknya menurut pengamatan kita selama ini. Mau diartikan bagaimana, terserah kita, dan mungkin akan berbeda – beda. Bukankah begitu ?

Kita hanya berusaha membangun sebuah pemahaman yang konsisten terhadap dirinya dan konsisten terhadap alam. Nampaknya hanyalah konsistensi yang bisa diterima oleh semua manusia. Bukankah begitu ?
Perang dunia, perang dingin, sampai perang suku, perang agama, ras. Kolonialisasi, perbudakan sampai pembunuhan, pencurian, pemerkosaan . . . . Cinta, kasih sayang, perdamaian, kesuksesan. Kenikmatan, keindahan, gairah. Jujur, bohong. Yang mengenakkan dan yang tidak mengenakkan. Tujuan hidup. Kebenaran sejati. ... Itulah yang menggerakkan kita dari dulu, mewarnai sejarah kita. Semua terjadi karena kita begitu banyak, hidup bersama dan berinteraksi dalam satu tempat. Bukankah begitu ?

Kenyataanya, kita ada, lahir, hidup di bumi, terdiri dari laki – laki dan perempuan, kawin dan beranak pinak, tidur, makan, bernafas, sedih, senang, ingin tahu, bangga, dan mati. Terserah itu benar atau tidak, kita mengalaminya bersama, di sini, dengan keterbatasan kita itupun jika batas dan sesuatu di luar batas itu ada, kita tak tahu. Bukankah begitu ?

Tak ada yang perlu dipastikan. Jalani hidup. Atau “Keluar darinya”. Itu semua pilihan. Bukankah begitu ?

Untuk itu, bagi yang ingin tahu, kembalilah. Besenang - senaglah, bersedihlah, bersemangatlah. Biarkan yang ada tetap ada, atau jika ingin kau hilangkan, usahakanlah, dengan atau tanpa keyakinan. Jalani kehidupan yang ada dan tersenyumlah. Karena mungkin kita tak akan benar - benar tahu. . . . . Bukankah begitu ?

Atau, bila ingin kau lanjutkan, lanjutkanlah.

0 comments:

Post a Comment

menu