Bagaimana
jika memang begini, tidak ada benar dan salah, karena bukankah benar
dan salah paling yang menentukan juga manusia, itu hanyalah
penyimpulan manusia akan hal yang dialaminya. Tuhan, neraka, surga,
nirvana ? Siapa dia ? Manusia kan, seperti kita. Apakah dengan banyak
penganut membuat dia semakin benar mengalahkan yang lainnya ? Mengaku
telah berkomunikasi dengan tuhan dan mendefinisikan benar dan salah
menurut dia sendiri berharap bisa membantu orang lain. Bagaimana
dengan yang tidak mempercayainya, bahkan dengan perdebatan sengit
sekalipun. Dia paling lantas mengatakan mereka salah, atau terserah
mereka, bahkan membunuh mereka. Yaa, terserah juga mau mengikutinya
atau tidak. Bukankah begitu ?
Seperti
yang kita tahu dan alami sendiri, kita, bukan hanya dia -nabi, wali,
saint, rsi- alam tetap bergerak, apakah kita berharap, berbuat
kesalahan / dosa, hanya diam sampai mati, alam tetap bergerak.
Matahari terbit dan terbenam, angin tetap berhembus, petir menyambar
saat ada awan yang bertumbukan, kerak bumi tetap bergerak, magma
tetap mengalami pergolakan, terpanaskan atau terdinginkan. Setidaknya
menurut pengamatan kita untuk saat ini atau saat itu. Bukankah begitu
?
Hanya
saja mengapa, saat mereka bergerak sedikit lebih kencang, bertumbukan
lebih keras, memanas lebih panas dan mengenai kita, kemudian kita
sebut sebagai bencana yang mempunyai arti khusus. Bahkan merupakan
akibat dari perbuatan kita yang bahkan kita sendiri adalah akibat
dari kealamiahan pergerakan alam. Dan bahkan sebenarnya “alami”
itu juga sebutan dari kita untuk mengungkapkan sesuatu yang -menurut
kita- seiring dengan alam. Bukankah begitu ?
Kapanpun
alam bisa menghancurkan dirinya sendiri. Menabrakkan batuan angkasa
dengan bumi, banjir besar, badai yang bisa memusnahkan seluruh
manusia. Itupun kata mereka. Mungkinkan ? Setidaknya menurut
pengamatan kita selama ini. Mau diartikan bagaimana, terserah kita,
dan mungkin akan berbeda – beda. Bukankah begitu ?
Kita
hanya berusaha membangun sebuah pemahaman yang konsisten terhadap
dirinya dan konsisten terhadap alam. Nampaknya hanyalah konsistensi
yang bisa diterima oleh semua manusia. Bukankah begitu ?
Perang
dunia, perang dingin, sampai perang suku, perang agama, ras.
Kolonialisasi, perbudakan sampai pembunuhan, pencurian, pemerkosaan . . . . Cinta, kasih sayang,
perdamaian, kesuksesan. Kenikmatan, keindahan, gairah. Jujur, bohong.
Yang mengenakkan dan yang tidak mengenakkan. Tujuan hidup. Kebenaran
sejati. ... Itulah yang menggerakkan kita dari dulu, mewarnai sejarah
kita. Semua terjadi karena kita begitu banyak, hidup bersama dan
berinteraksi dalam satu tempat. Bukankah begitu ?
Kenyataanya,
kita ada, lahir, hidup di bumi, terdiri dari laki – laki dan
perempuan, kawin dan beranak pinak, tidur, makan, bernafas, sedih,
senang, ingin tahu, bangga, dan mati. Terserah itu benar atau tidak,
kita mengalaminya bersama, di sini, dengan keterbatasan kita itupun
jika batas dan sesuatu di luar batas itu ada, kita tak tahu. Bukankah
begitu ?
Tak
ada yang perlu dipastikan. Jalani hidup. Atau “Keluar darinya”.
Itu semua pilihan. Bukankah begitu ?
Untuk
itu, bagi yang ingin tahu, kembalilah. Besenang - senaglah,
bersedihlah, bersemangatlah. Biarkan yang ada tetap ada, atau jika
ingin kau hilangkan, usahakanlah, dengan atau tanpa keyakinan.
Jalani kehidupan yang ada dan tersenyumlah. Karena mungkin kita tak
akan benar - benar tahu. . . . . Bukankah begitu ?
Atau,
bila ingin kau lanjutkan, lanjutkanlah.
0 comments:
Post a Comment