Bagaimana
jika kata agama kita hilangkan sejenak dan diganti dengan kata pemikiran,
pepahaman, atau konsep tentang kehidupan. Kita ambil pokok dan tujuan dari
agama – agama besar dan menyingkirkan dulu ritual, praktek, tradisi, hukum, disiplin,
etika, dll. Kita pusatkan perhatian pada sosok yang dijadikan asal, penyusun
dan teladan. Sosok yang oleh awam dipandang berbicara verbal dengan tuhan atau
oleh para pemikir dianggap sebagai pemikir yang telah mencapai pendalaman dan
pemahaman penuh atas dunia.
Mungkin
sebenarnya inilah pokok dari agama – agama mayor, mengendalikan / meluluhkan
keinginan (nafsu) terhadap dunia untuk mencapai sesuatu diluarnya (tuhan,
surga, nibbana, moksha). Pemahaman tersebut selalu ada di sepanjang zaman
dianut dalam berbagai bentuk dan terus berkembang dengan dominasi menjadi lebih
sederhana.
Jika
intinya seperti tersebut di atas maka tujuannya adalah kenikmatan. Berbagai
bentuk kenikmatan. Kenikmatan yang berasal dari pengalaman yang termasuk
sensasi. Sensasi kenikmatan dunia yang dilipatkan di akhirat setelah mati,
sensasi cinta yang agung, sensasi kedamaian sejati, sensasi terbebas setuntas
tuntasnya dari nafsu dunia, sensasi kekosongan- ketiadaan, dll.
Semua
adalah usaha manusia untuk melanggengkan kenikmatan, kedamaian, dan kebebasan.
Ia menyusun berbagai praktek dan konsep dalam kehidupan. Disebarkan dengan
kepastian atau pilihan, peperangan atau kedamaian.
Kita
semua menginginkan dan mengusahakan kenikmatan, bahkan ketika keinginan akan
nikmat itu diusahakan untuk hilang (dalam filsafat Buddhisme, saya belum paham
karena belum mengalaminya). Apapun dan bagaimanapun bentuknya, mobil, rumah,
wanita, pemandangan, cinta, damai, kasih, pengetahuan, musik, pijatan, seks, aroma,
rasa, dll. Mengimani agama merupakan salah satu bentuk mengusahakan kenikmatan.
Bahkan
bagi yang menganggap kenikmatan sejati tak akan bisa didapat di dunia ini tapi
nanti setelah mati. Setelah mati ada hari pembalasan menyakitkan bagi orang –
orang yang mengejar kesenangan yang dianggap semu, dan pembalasan menyenangkan bagi orang yang
meredam pencarian nikmat, yang sebenarnya merupakan keragaman memaknai
kenikmatan. Walaupun kenikmatan setelah matinya hanya merupakan perkalian nikmat
di dunia. Mereka sebenarnya juga mengusahakan kenikmatan.
Terserah
anda memilih yang mana. Mau yang sederhana atau rumit. Mau yang dianut banyak
orang atau sedikit. Mau yang dianggapsemu atau dinaggap sejati. Ini tentang bagaimana
memahami dan menyusun kenikmatan.
1 comments:
Now, I came to this idea of bliss because in Sanskrit, which is the great spiritual language of the world, there are three terms that represent the brink, the jumping-off place to the ocean of transcendence: Sat-Chit-Ananda. The word "Sat" means being. "Chit" means consciousness. "Ananda" means bliss or rapture. I thought, "I don't know whether my consciousness is proper consciousness or not; I don't know whether what I know of my being is my proper being or not; but I do know where my rapture is. So let me hang on to rapture, and that will bring me both my consciousness and my being." I think it worked.
If you follow your bliss, you put yourself on a kind of track that has been there all the while, waiting for you, and the life that you ought to be living is the one you are living. Wherever you are—if you are following your bliss, you are enjoying that refreshment, that life within you, all the time.
-Joseph Campbell-
Post a Comment