Di dalam dunia yang terucap, tak ada yang benar, kecuali, tak ada yang benar. Suatu hal hanya lebih elegan dari yang lain. Kebenaran itu mutlak, sempurna, abadi, total, konsisten, dan tak dapat dikompromikan. Kita sekedar mendekatinya, dengan keterbatasan kita, sampai kapanpun.
Cara kita mendekati kebenaran adalah dengan pengamatan, perenungan, percobaan, percakapan bersama, yang terus berlanjut turun temurun dalam sejarah. Tak ada seseorang yang memiliki otoritas mutak atas kebenaran kecuali otoritas itu monopoli politik belaka. Kita bersama membentuknya melalui pendekatan, bersama.
Sebelum kelahiran, sesudah kematian, yang tak tampak, yang paling besar, yang paling kecil, yang paling hebat, yang mendasari berbagai hal, tujuan dan jalan sejati, telah banyak spekulasi, mitos, doktrin, dan imajinasi - imajinasi kita tentang ini. Keterbatasan ditambah keingintahuan merangsang kita untuk menjelaskan hal - hal tersebut. Apalagi jika dikemas dengan takdir kita akan rasa sakit, ketakutan, penderitaan, kenikmatan, kebahagiaan, hubungan sosial, pandangan kita akan kebaikan, kerusakan, itu akan menjadi sebuah kerangka berpikir yang meyakinkan. Ditambah lagi pahala keabadian bagi yang mau mengikuti atau siksaan yang menakutkan bagi yang menolak. Bukankah dari dulu kita senang dikotak - kotakkan.
Kita sadar akan keberadaan kita sudah cukup lama. Cerita - cerita dari banyak orang yang mencari makna keberadaan. Dari bangsa Sumeria, Akkadia, Mesir Kuno, Arya, Dravida, Babilonia, Canaan, Viking, Yunani Kuno, Romawi Kuno, sampai peradaban modern. Namun, tak kunjung ditemukan makna sejatinya. Mungkin, kita hanya perlu berhenti mengkhawatirkan pengetahuan kita, dan perlahan sejenak menikmati. Menikmati keberadaan yang kita amati saat ini, tanpa bertanya, tanpa berpendapat. Hanya mengamati keberagamannya, cerah, redup, manis, pahit, sakit, relaks, gairah, tanpa membedakan mana yang enak yang kemudian perlu untuk didekati atau mana yang tak enak lalu dijauhi. Terima segalanya apa adanya, mungkin dari situ kita menemukan maknanya. Selain itu menyenangkan, itu akan menguatkan, dan mendewasakan diri kita.
Coba berbagai pengalaman. Membiasakan berani menghadapi segalanya. Berlatih berbagai keterampilan. Temukan hal - hal baru. Tak perlu takut salah, kesalahan tak akan selamanya menghapus kenikmatan. Ketika semua telah terbiasa itu hanya berjalan tanpa keinginan, kita tak akan bergantung kepadanya. Mungkin setiap kita bergerak semua seperti telah ada di depan kita dan kita tinggal berhubungan dengannya.
Di era ini, pemahaman kita terhadap alam semakin konsisten. Alam bergerak seperti itu adanya dalam proses evolusinya. Ia telah memilih sebuah jalan dari banyak kemungkinan dalam sebuah keberadaan. Sepertinya ia memaksa kita untuk berkompetisi, menjadi yang terbaik. Mungkin, kita perlu mengikuti kehendaknya. Tapi sudah lama kita berkompetisi, berperang berebut kekuasaan, mempertahankan ideologi sampai mati, bukankah seharusnya itu mendewasakan kita dan membenahi cara kita berkompetisi. Kita telah membuat aturan tentang hak - hak setiap manusia, itu bagus. Kita di atas karena tentunya ada yang di bawah kita, kita berhasil tak mungkin tanpa bantuan mereka, dari semua itu kita hanya perlu berterima kasih dan berbagi kepada mereka. Tak perlu fanatik, tak perlu menggebu - gebu, berjalanlah secara elegan, tanpa menghilangkan semangat dan kepercayaan diri. Dari pada terlalu berharap dan memaksa, lebih baik mengikuti, menikmati, dan terus bergerak cukup sekedar agar semua terus berjalan.
Mungkin seharusnya kita lupakan tujuan sejati dari keberadaan. Bukan berarti keberadaan kita tak bermakna dan hanya sia - sia. Kita terima ini apa adanya tanpa mengharapkan keabadian, kesempurnaan, dan totalitas. Bukankah telah kita saksikan berbagai cara untuk hidup, semua dihiasi kenikmatan dan penderitaan. Kita sepakat bahwa kita semua mencari kenikmatan, lalu apakah tujuan adanya kita adalah untuk itu, lupakan. Yang jelas, kenikmatan tak akan kita dapat jika kita memakannya sendirian, kita perlu berbagi seperti halnya kita perlu makan.
Berbagai jalan kehidupan sudah dikehendaki untuk ada, tak perlu kita memaksakan satu jalan sebagai kebenaran. Toh suatu jalan juga sebenarnya juga tak setipis rambut.
Bumi bulat,
berbagai jalan dibuat,
tapi setiap permukaan bisa untuk lewat,
tak ada tujuan yang tepat,
hanya terus berjalan sambil merasakan nikmat.
Kita dihakimi bukan karena kemarahan kita, tapi oleh kemarahan kita. Mengasihi maka dikasihi, memahami maka dipahami, memperhatikan maka diperhatikan, menghormati maka dihormati, membenci maka dibenci, merusak maka dirusak. Walaupun tak harus linier tapi sepertinya kausal deterministik. Dan semuanya sepertinya satu, bergerak bersama, bergetar bersama dalam satu pilihan jalan yang lebar. Tak peduli apakah kehendak bebas benar - benar ada ataukah hanya perasaan kita saja. Kapasitas kita belum sampai untuk dapat menjawabnya.
0 comments:
Post a Comment